logo

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Negeri Pamekasan Kelas 1B

Jl. P. Trunojoyo No. 397, Pamekasan, 69371

Delegasi PN Pamekasan

Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Pamekasan

Terobosan Restorative Mahkamah Agung melalui Perma 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadii Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Terobosan Restorative Mahkamah Agung melalui Perma 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadii Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Terobosan Restorative Justice Mahkamah Agung melalui Perma 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Penulis: Kevin Krissentanu Winner, S.H.

(Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Pamekasan)

 

PENDAHULUAN

Keadilan Restoratif merupakan sebuah pendakatan penanganan perkara tindak pidana yang melibatkan para pihak baik korban, pelaku, atau pihak yang terkait dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan bukan hanya pembalasan. Prinsip dasar keadilan restoratif ialah tidak semata-mata untuk menghentikan perkara dengan memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak menekankan pada kesukarelaan tanpa tekanan, paksaanan dan intimidasi.[1]

Teori keadilan restoratif secara historis digagas oleh seorang psikolog Albert Eglash pada tahun 1977 mengemukakan bahwa upaya restoratif merupakan bentuk sistem peradilan pidana yang berfokus untuk upaya memulihkan atau merestorasi efek merugikan dari suatu tindakan seseorang dana secara aktif melibatkan semua pihak dalam proses peradilan.[2] Pandangan keadilan restoratif sebagai nilai dikemukakan oleh James Dignan menyatakan bahwa keadilan restoratif merupakan pendekatan nilai untuk merespons kesalahan dan konflik yang berfokus pada keseimbangan kepentingan pada pihak yang dirugikan, pihak yang menyebabkan kerugian dan masyarakat yang terkena dampak.[3] Konsep Keadilan restoratif sebagai proses merupakan permodelan dialog dalam kerangka pelibatan dan pertisipasi para pihak yakni pelaku, korban masyarakat dalam penyelesaian perkara pelanggaran atau kejahatan, secara fundamental keadilan restoratif juga dipandang sebagai upaya mengubah hubungan antara masyarakat dengan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.[4] Selain itu, konsep keadilan restoratif sebagai paradigma yakni memandang peradilan pidana yang berfokus memperbaiki kerusakan yang terjadi pada seseorang atau hubungan antara sesama manusia ketimbang pada pemberian hukuman kepada pelaku.[5]

Penerapan keadilan restoratif telah tertuang dalam berbagai konteks peraturan perundang-undangan, surat edaran, surat keputusan maupun kesepakatan antara penegak hukum di Indonesia saat ini seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Nota Kesepahaman Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Polri tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), disahkan pada 17 Oktober 2012, dan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), disahkan pada 22 Desember 2020. Mahkamah Agung terlebih dahulu mengeluarkan aturan teknis keadilan dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/ DJU/SK.PS.00/12/2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum, aturan ini memuat dua hal yakni:[6]

  1. Tahapan awal pada upaya perdamaian Ketua Pengadilan Negeri berkoodinasi dengan Kapolres dan Kajari dalam hal pelimpahan perkara sebagaimana diatur dalam Perma 2 tahun 2012 maka pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban dan pihak lain dihadirkan kemudian Ketua Pengadilan menetapkan hakim tunggal untuk melakukan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat
  2. Upaya perdamaian dilakukan seelah hakim membuka persidangan dan membacakan dakwaan. Upaya perdamiaan berhasil, para pihak membuat kesepakatan yang ditandatangani oleh para pihak. Upaya perdamaian dalam pemeriksaan perkara, Terdakwa berdasarkan aturan dalam Perma ini tidak dikenakan perpanjangan penahanan, dan prosesnya tetap dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai restorative justice.

Secara substansi, ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/ DJU/SK.PS.00/12/2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum tidak membuat aturan baru hanya bertujuan agar hakim tidak ragu-ragu dalam memutuskan perkara dengan pendekatan restoratif.

Mahkamah Agung kemudian melakukan terobosan hukum dengan dikeluarkannya Perma 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadii Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dengan pertimbangan bahwa Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/ DJU/SK.PS.00/12/2020 hanya bersifat pedoman dan tidak mengikat bagi hakim untuk melaksanakan Restorative Jusice sementara diperlukan integrasi keadilan restorative dalam proses peradilan pidana di Indonesia, Pendekatan keadilan restoratif belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya pada tingkat persidangan terhadap putusan yang di dalamnya termuat pendekatan keadilan restorative dan Mahkamah Agung perlu mengatur lebih lanjut hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum.

Untuk itu penulis ingin mengetahui mengenai konsep retoratif yang terdapat dalam Perma 1 Tahun 2024 dan dan pelaksanaan mekanisme keadilan restorative yang terdapat dalam Perma 1 Tahun 2024;

RUMUSAN MASALAH:

  1. Bagaimana konsep keadilan Restorative  dalam Perma 1 Tahun 2024?
  2. Bagimana tata cara mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restorative?

 

A. Bagaimana konsep kedilan Restorative Justice dalam Perma 1 Tahun 2024

Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 mendefinisikan Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan dan bukan hanya pembalasan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Hakim mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif dilaksanakan asas 1) pemulihan keadaan, 2) penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan korban, 3) tanggung jawab Terdakwa, 4) pidana sebagai upaya terahir, 5) konsensualitas dan 6) transparansi dan akuntabilitas. Pelaksanaan keadilan Restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Pedoman mengadili perkara pidana oleh hakim melalui putusan berdasarkan pemulihan kerugian korban dan/atau pemulihan hubungan antara Terdakwa, Korban dan masyarakat. [7]

Konsep keadilan Restorative Justice yang diterapkan dalam Perma 1 Tahun 2024 menegaskan keadilan restorative tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana seseorang. Hakim dalam memutus suatu perkara tetap mempertimbangkan pertanggungjawaban pidana seseorang namun konsep ultimum remidium dalam hukum pidana wajib dijalan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Keadilan Restoratif dalam Perma 1 Tahun 2024 mencakup komponen inti sebagaimana dikemukakan oleh Danile W. Van Ness dan Karen Heetderks memuat inklusifvitas, pertemuan, perbaikan an reintegrasi. Hakim dalam melaksanakan proses pemulihan keadaan wajib mengedepankan penerimaan dari para pihak melalui pertemuan yang saling bisa menghormati dan mengembalikan kondisi terhadap korban serta masyarakat.[8]

 

B. Bagaimana Tata cara Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restorative?

Hakim dalam mengadili perkara berdasarkan keadilan restorative dibatasasi Jenis Perkaranya berdasarkan Pasal 6 Perma 1 Tahun 2024 sebagai berikut:[9]

  1. Tindak pidana ringan/kerugian dibawah Rp. 2.500.000/ tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
  2. Delik aduan
  3. Ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara;
  4. Pelaku anak yang diversinya tidak berhasil;
  5. Tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan;

Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif dalam hal:[10]

  1. Korban/Terdakwa menolak melakukan perdamaian;
  2. Terdapat Relasi Kuasa;
  3. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Mekanisme mengadili berdasarkan Keadilan Restoratif:

  1. Penuntut Umum membacakan surat dakwaan menyatakan mengerti berita acara pemeriksan atau isi dakwa Penuntit Umum, Hakim memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk membenarkan atau tidak kepada kemudian apabila Terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan juga dengan tidak diajukannya nota keberatan oleh Terdakwa maka proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Dalam hal Terdakwa tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan, mengajukan keberatan atas dakwaan yang diajukan, pemeriksaan perkara dilanjutkan sesuai dengan hukum acara.
  2. Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum perihal kehadiran korban dalam persidangan. Dalam hal Korban hadir dalam persidangan, Hakim memulai pemeriksa keterangan Korban dengan terlebih dahulu menanyakan kepada korban mengenai kronologis, kerugian yang timbul, ada tidaknya perdamaian dan pelaksanaan kesepakatan;
  3. Apabila korban tidak hadir persidangan ditunda selama 7 (tujuh) hari;
  4. Hakim berwenang memeriksa perdamaian yang terjadi sebelum persidangan;
  5. Apabila sudah dilaksanakan menjadi pertimbangan dalam Putusan namaun apabaila belum dilaksankan maka hakim menanayakna alasannya;
  6. Dalam hal Terdakwa tidak sanggup melaksanakan kesepakatan perdamaian, Hakim menanayakan kesediaan Korban untuk membuat kesepakatan baru yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa. Dalam hal korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan Terdakwa, Hakim mengupayakan tercapaianya kesepakatan baru yang disanggupi oleh Terdakwa dan Korban;
  7. Apabila belum pernah melakukan perdamaian, Hakim menganjurkan untuk menempuh perdamaian;
  8. Kesepakatan tanpa adanya kesesatan/paksaan/penipuan dari salah satu pihak;
  9. Dalam hal perkara delik aduan, korban menarik pengaduan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang;
  10. Kesepakatan dianggap terlaksana saat perjanjian di tandatangani di depan Hakim, sehingga penuntutan gugur/tidak dapat diterima;
  11. Hakim berwenang memerintahkan Penuntut Umum memanggil pihak lain yang terkait;
  12. Pelaksanan Keadilan Restoratif dilakukan paling sebelumnya tuntutan;
  13. Dengan tetap memperhatikan masa penahanan Terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara;
  14. Dalam hal perkara delik aduan, kesepakatan dapat berupa Terdakwa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dan Korban menarik sepanjang kesepakatan penarikan pengaduan dirumuskan dalam perjanjian perdamaian secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani didepan hakim sehingga hakim berwenang menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima;
  15. Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 dapat berupa: a) Terdakwa mengganti kerugian, b) Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan, c) Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.
  16. Kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhakan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentaun peraturan perundang-undangan.
  17. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan, Hakim dapat menerapkan dengan syarat umum dan/atau syarat khusus untuk a) menjatuhkan alternatif pemidanaan selain pidana penjara terhadap terdakwa dan/atau menjamin terpenuhinya kesepakatan antara Terdakwa dan Korban serta memulihkan kerugian Korban.
  18. Syarat umum dalam penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan oleh hakim dalam hal: Tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan Terdakwa layak untuk dipidana, Terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan antara Terdakwa dan Korban atau ahli warisnya sebelum persidangan;
  19. Dalam hal menjatuhkan putusan pemulihan kerugian korban dan/atau pemenuhan kebutuhan korban Terdakwa Terdakwa Hakim menerapkan ketentuan untuk Terdakwa mengganti kerugian, Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan dan Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan;

 

KESIMPULAN

Konsep Keadilan Restoratif Justice dalam Perma 1 Tahun 2024 bertujuan mengupayakan pemulihan pemulihan keadaan semula dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain terkait. Hakim dalam mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif dilaksanakan asas 1) pemulihan keadaan, 2) penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan korban, 3) tanggung jawab Terdakwa, 4) pidana sebagai upaya terahir, 5) konsensualitas dan 6) transparansi dan akuntabilitas. Keadilan Restoratif dalam Perma 1 Tahun 2024 tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana seseorang dengan mempertimbangkan pertangungjawaan pidana namun tetap mengedepankan penerimaan dari para pihak melalui pertemuan yang bisa saling menghormati dan mengebalikan kondisi terhadap korban serta masyarakat.

Perma 1 Tahun 2024 telah memberikan pedoman acara persidangan pidana dengan terlebih dahulu memberikan pembatasan terhadap tindak pidana yang dapat diterapkan keadilan restoratif, pembatasan kewenangan penerapan pedoman keadilan restoratif, mekanisme mengadili keadilan restoratif sejak tahapan dibacakannya dakwaan hingga putusan. Mekanisme hukum acara dalam Perma 1 Tahun 2024 menganjurkan kepada Terdakwa dan Korban untuk menempuh atau membuat kesepakatan perdamaian kemudian Hakim dalam menjatuhkan pidana dapat menerapkan pidana bersyarat/pengawasan;

 

REFRENSI

Buku

[1] [6] Maidinia Rahmawati Dkk, Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Institute For Criminal Justice Reform, Jakarta, 2022;

[2] Leopold Sudartono Dkk, Studi Sikap Publik terhadap penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berkolaborasi dengan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia melalui The Asia Foundation, Jakarta, 2022;

[3] Dr. Lilik Mulyadi Dkk, Kajian Restorative Justice dari Perspektif Filosofis, Normatif, Praktik dan Persepsi Hakim, Kencana, Jakarta, 2021;

[4] Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 180, dalam Yusi Amdani, Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencurian oleh Anak Berbasis Hukum Islam dan Adat Aceh, Al-‘Adalah Volume XIII, Nomor 1, Juni 2016;

 

Peraturan Perundang-undang:

[9] Perma 1 Tahun 2024 tentang pedoman mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif

 

Materi Paparan:

[8] Daniel W. Van Ness and Karen Heetderks, An Overview of Restorative Justice Around The World, materi yang dipresentasikan dalam Workshop 2: Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice, 22 April 2005, diakses dari An Overview of Restorative Justice Around the World

[5] Surya Jaya, Keadilan Restoratif: Tuntutan dan Kebutuhan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, hlm. 1;

[10] Sosialisasi Perma 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif;

 

Video:

[7] Podcast Direktorat Jenderal badan Peradilan Umum wawancara dengan Hakim Agung Kamar Pidan Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., 8 Juli 2024, diakses pada tanggal 08 Oktober 2024

 

 







Open chat
SAKERA Informasi
informasi
×

 

Selamat Datang

× POSBAKUM Online